Selasa, 25 Mei 2010

Kuburan Massal di Basis PKI

Kuburan Massal di Basis PKI

Posted on 3 Oktober 2009 by Zelyindahan

Blitar Selatan adalah basis PKI. Cap itu masih melekat hingga sekarang meski PKI sudah dinyatakan sebagai partai terlarang.

Ketika negara mengejar anggota serta mereka yang dianggap sebagai pendukung PKI pada tahun 1965, ribuan nyawa melayang. Dieksekusi tanpa peradilan. Sebagian dari mereka dikuburkan secara massal di sejumlah desa di Blitar Selatan, Jawa Timur.

Bongkar kuburan
Komnas HAM kini berencana membongkar kuburan-kuburan massal itu sebagai upaya pemulihan hak-hak korban. Tapi tentangan datang dari mereka yang kala itu bertugas sebagai anggota TNI. Lebih jauh laporan Kontributor KBR68H Didi Syahputra.

Berjalan kaki menelusuri jalan setapak berbatu di antara persawahan, selama 20 menit, kita akan tiba di sebuah area seluas 5 meter persegi di Desa Ngrejo, Kecamatan Bakung, Blitar selatan. Di sini ada dua pohon kamboja dan ilalang tinggi menaungi sebuah makam.

Markus Talam dan Sanjoyo, bekas narapidana di Pulau Buru, mengatakan, di makam Bakung inilah pertama kali terjadi pembantaian massal terhadap orang-orang yang dianggap terlibat PKI.

“Di sini ini saja ada 48, disitu ada 7. Mati itu bukan semuanya ditembak. Ya ada yang dipukul, digorok, disembelih,” ujar Markus Talam.

Sementara Sanjoyo berkata: “Sekitar 25 atau 30 orang itu dalam satu lobang.”

Operasi Trisula
Ini kuburan massal PKI, begitu kata warga Blitar. Kuburan ini adalah buntut dari Operasi Trisula yang digelar tahun 1966 di Blitar Selatan, ketika itu warga yang dicap PKI dikejar dan dibunuh.

Lebih jauh Markus Talam berkata:

“Itu gencar sekali, istilahnya operasi Tumpes Kelor!!!! Jumpa kelihatannya itu orang mencurigakan langsung dibawa, termasuk saya. Tinggal yang di rumah itu cuma perempuan-perempuan. Ada orang yang bertani dibawa, direntengi sampe 10, 7, 4 itu dibunuh. Pembunuhannya ya di tempat-tempat itu aja. Yang dibunuh di sini juga ada, yang dibawa di gunung di luar desa juga ada.”

Markus Talam lolos dari pembunuhan karena kabur saat diangkut tentara dari tempat persembunyiannya di Trenggalek, menuju Markas Kodim di Blitar. Tapi selama ia melarikan diri, giliran anggota keluarganya yang jadi sasaran. Ditangkap, lantas dieksekusi.

“Saya ini nggak kurang dari 30 dik, korban. Keponakan, terus saudara-saudara sepupu, banyak! Orang-orang yang nggak tahu apa-apa itu, petani. Ya mereka itu ditembak di sini saja, yang deket sungai ya dibuang ke sungai, kalo nggak ya ditaruh begitu saja, nggak dikubur. Seperti membunuh tikus. Tikus saja kalau dekat rumah kan dibuang, itu nggak.”

Kuburan massal bagi mereka yang dicap PKI juga bisa ditemukan di Kecamatan Nglegok, Blitar Utara. Jaraknya sekitar 50 kilometer dari desa pertama.

Kuburan massal
Sanjoyo adalah bekas Kepala Desa Kedawung. Di desa ini, kata dia, ada dua kuburan massal PKI. Sementara di desa lain seperti Selorejo, Penataran, Bangsri dan Karanganyar terdapat tiga hingga lima makam. Total di Kecamatan Nglegok saja, ada puluhan kuburan massal.

“Di kecamatan Nglegok ya yang saya tahu di Selorejo itu ada 1, 2, terus di Karanganyar ada, semua desa itu ada, cuma yang terbesar itu di Nglegoknya itu, karena dulu ditempat itu kan ada Koramil dan Polseknya. Terbesar itu berapa kira-kira? Itu kira-kira 25 sampai 30 orang dalam satu lubang.”

Sanjoyo salah seorang saksi dalam peristiwa pembantaian massal bagi mereka yang dicap PKI. Ketika Operasi Trisula digelar TNI, hampir setiap malam di Desa Tumpakoyot, Kecamatan Bakung, terdengar bunyi rentetan senjata.

Setiap pagi pun ia harus mencari potongan bambu sepanjang dua meter, untuk mendorong puluhan mayat yang bergelimpangan di sungai belakang rumahnya.

“Lha, kalau di Blitar Selatan malah lebih ngeri lagi karena cuma diceburkan di kali aja. Pada waktu peristiwa Gestapu itu airnya nggak putih lagi atau cokelat lagi tapi merah! Itu karena banyak jenazah-jenazah yang dibuang begitu saja.”

Goa Tikus
Bagi warga Blitar, makam massal yang paling terkenal, di antara ratusan yang ada, adalah Goa Tikus di Desa Lorejo. Letaknya di pegunungan kapur Blitar Selatan, yang dikenal sebagai lokasi pembuangan mayat.

Goa Tikus adalah lubang selebar 2,5 meter dengan kedalaman 20 meter. Saya membawa ransel berisi kaleng oksigen, peluit dan senter. Dengan melilitkan tambang plastik setebal lengan orang dewasa, saya turun ke dalam Goa Tikus ini. Di ujung satunya, tambang dipegang oleh Saniko dan Jumani, warga Desa Lorejo.

Sesaat setelah masuk ke dalam goa, saya berhenti. Saya bertumpu pada sebuah batu yang menjorok. Begitu senter dinyalakan, saya melihat puluhan tengkorak manusia menyembul di antara air berlumpur. Tulang belulang juga terserak bercampur serpihan kain.

Begitu peluit dibunyikan, Santiko dan Jumani menarik tubuh saya ke atas.

“Saya baru saja melihat sebuah pemandangan yang sangat mengerikan, didalam gua tikus tadi ada tumpukan tulang manusia yang sudah tak utuh lagi setinggi 2 meter. Dan tulang tulang itu bercampur dengan lumpur serpihan kain, sandal karet dan batu. Dari banyaknya tulang yang ada, sepertinya benar yang dikatakan warga, bahwa jenazah yang dibuang di gua Tikus mencapai ratusan orang.”

Peristiwa 1965 memang masih menyisakan beribu tanda tanya. Membongkar makam massal punya nilai penting, tidak hanya bagi mereka yang dikuburkan di dalamnya, tapi penting bagi kebenaran itu sendiri. Namun rupanya ada yang tak setuju makam dibongkar.

Genjer-genjer
Lagu Genjer-genjer lewat alunan suara Bing Slamet terdengar dari rumah kuno bercat putih. Put Mainah duduk di kursi kayu. Matanya terpejam. Kepalanya sesekali bergerak mengikuti irama lagu yang keluar dari alat pemutar kaset kuno ini.

Bu Put, dikenal warga Desa Pakisrejo, Kecamatan Srengat, Blitar, sebagai tokoh Gerwani Jawa Timur. Gerwani adalah organisasi perempuan di bawah Partai Komunis Indonesia, PKI. Posisinya cukup tinggi, ia sempat menjabat sebagai anggota DPRD Blitar. Tahun 1965, ia lari ke Blitar Selatan.

“Ya lari, he….he…. kenapa Bu ?. Ya takut to saya, wong orang orang pada disembelih, rumahnya dibakar harta bendanya diambilin.”

Put Mainah sudah kenyang merasakan penjara 10 tahun karena keputusannya bergabung dengan PKI. Ia tak pernah menyesal menjadi anggota PKI. Satu-satunya penyesalan adalah karena negara tak menghargai keyakinan dan jalan hidup orang lain.

Membongkar kuburan massal, menurut Bu Put, hanya upaya kecil yang bisa dilakukan untuk mengembalikan hak eks tahanan politik PKI sebagai warga negara.

“Keadilan itu harus adalah. Ini kan negara kedaulatan rakyat, demokrasi, jadi mestinya keadilan itu harus ada, di mana negara demokrasi nggak ada keadilan.”

Tentara
Upaya pembongkaran kuburan massal PKI di Blitar bukannya tak pernah dilakukan. Pemkab Blitar beberapa kali melontarkan gagasan ini, tapi selalu ditentang. Penentang utama datang dari kelompok tentara.

Sukirno seorang pensiunan Komandan Kodim di Blitar berpendapat, pembongkaran kuburan massal PKI di Blitar lebih banyak sisi negatifnya.

“Kalau itu dilaksanakan menurut saya justru akan menimbulkan efek yang negatif. Baik korban maupun yang dikorbankan pada tahun 65-66 itu, bahkan mungkin akan mereview pada tahun 48.”

Pemerintah Kabupaten Blitar akhirnya meminta meminta Komnas HAM meneliti keberadaan kuburan massal tersebut. Kuburan dirasa perlu dibongkar, untuk membuktikan adanya pelanggaran HAM berat saat berlangsung Operasi Trisula, kata Wakil Ketua DPRD Kabupaten Blitar Bambang Gunawan.

“Peristiwa tahun 65 itu merupakan tidak hanya pelanggaran tidak hanya HAM, tapi lebih dalam pada perikemanusiaan itu. Tidak bisa menghilangkan nyawa orang itu seenaknya sendiri tanpa proses yang jelas. Oleh karena itu saya sangat mendukung upaya upaya itu dan mudah mudahan setelah bukti bukti kongkrit, kebenaran bisa ditegakkan.”

Sulit terwujud
Komnas HAM menilai, keinginan para eks Tapol Napol PKI untuk membongkar kuburan massal di Blitar Selatan, masih sulit terwujud. Jalan masih terlalu panjang dan berliku, karena masih banyak yang benci pada PKI dan keturunannya. Kata Nurkholis, anggota Komnas HAM, yang juga ketua Tim Ad Hoc Kasus 65-66.

“Tidak semua komponen masyarakat dan struktur negara mendukung upaya pengungkapan kembali kasus 65-66. Kelompok front anti komunis juga ada beberapa jenderal purnawirawan mendatangi kami di Komnas, menyatakan bahwa mereka keberatan kalau kasus ini diungkap kembali.”

Apalagi membongkar kuburan massal, kata Nurkholis, tak serta merta membuktikan adanya pelanggaran HAM berat. Tapi paling tidak, pembongkaran makam bisa membuktikan bahwa ribuan orang telah dibunuh tanpa prosedur hukum. Berikut penjelasan Nurkholis.

“Kita akan memanggil saksi, terutama adalah mereka yang disebut saksi korban. Setelah ini mendapat gambaran secara umum, kita akan melangkah kepada pengumpulan bukti, itu bisa mengarah pada pembongkaran atau penggalian tempat-tempat yang diduga dijadikan sebagai kuburan massal pasca peristiwa 65-66. Insya Allah kita lakukan.”

Laporan ini disusun Reporter KBR68H Didik Syahputra.
//
dilangsir oleh www.ranesi.com

Sumber: http://muhshodiq.wordpress.com/2009/10/03/5951/